Ada sebuah gambaran dalam kepalaku, sebuah citra. Bukan, bukan khayalan, bukan mimpi sesaat. Lebih seperti cita-cita atau cenderung obsesi. Ku menyebutnya Langit.
Langit muncul karena seseorang, dengan seseorang. Seseorang yang menggeser arah hidupku, memberi warna jingga dalam saujanaku. Rekan dalam kegundahan, pasangan dalam kegilaan. Ku memanggilnya Kosmik, ibu dari Langit.
Dan aku Bumi, jalang dari ujung jagad raya.
Dalam perjalanannya Langit enggan berkompromi dengan keadaan di luar kepalaku, kondisi nyata menurut sebagian orang, atau realitas. Langit menjadi makin liar, seperti memelihara anak Iblis, menabrak norma. Buta aku dalam arah, dibawa keliaran isi kepala. Memaksa orang-orang untuk sependapat, bahwa aku tidak bersalah, tidak ada yang salah dengan gambaran yang aku punya. Tak ada yang salah dengan Langit, Langit tak berdosa.
Kosmik menegurku: "Bukan cinta untukku yang kau punya, hanya obsesi terhadap Langit yang ada". Kujawab: "Tidak, aku mencintaimu. Tak akan ada Langit tanpamu". Kosmik menyanggah: "Tapi Langitlah yang kau inginkan, bukan aku". Kemudian dia pergi.
Aku merindukan Kosmik. Dalam terpaan hujan, di bawah paparan mentari, di tengah hembusan angin. Aku selalu memikirkannya.
Dan dia pun datang, dengan keanggunan seperti biasanya. Keanggunan yang menyimpan keliaran, kegilaan serta kejutan. Tapi dia datang bukan karena merasakan getaran rinduku. Dia datang untuk menyampaikan sesuatu yang lebih menggetarkan dari petir Jupiter.
"Bumi, kau tau aku sayang padamu, aku mencintaimu dengan gila, aku menggilaimu dengan cinta". "Aku menginginkanmu selalu dalam orbit berputar cantik, sedikit bergoyang". "Mengobarkan panas di dadaku".
"Tapi kau tau Semesta, aku miliknya, ia kehilangan diriku selama aku bersamamu". "Semesta membutuhkan ku, menginginkan ku meski tak pernah mengatakannya, tapi ia memanggilku suatu hari, dia bilang dia merindukan senyumanku pada pagi dan belaianku pada malam".
"Aku....aku tidak bisa terus bersamamu Bumi, Semesta membutuhkanku dan aku membutuhkannya". "Maafkan aku Bumi, aku tidak bisa terus bersamamu". "Kau bisa menemuiku kapan kau suka, aku akan selalu ada di tempat yang sama". "Tempat yang sama dengan posisi yang berbeda".
Aku hanya terdiam, kali ini aku tidak marah. Terbersit pertanyaan: "Bagaimana dengan Langit?" Tapi pertanyaan itu tak pernah terucap. Hanya terserak di sudut otakku, bertumpukkan dengan ribuan pertanyaan lain yang juga tak pernah terucap.
Aku mengangkat kepalaku, menatap matanya lekat-lekat dan berkata: "Baiklah, aku mengerti". "Kalian tercipta satu dan untuk bersama, akulah yang menabrak hukum kehidupan". "AKUlah yang salah".
Kali ini aku tidak marah, kali ini aku mengakui, menyadari dan mengerti bahwa akulah yang salah. Semua yang semula aku sangkal.
Aku menarik sesimpul senyum di bibirku. Bersamaan dengan senyum itu Langit runtuh, kepingannya berserakan terbaur dengan ribuan pertanyaan tadi.